April 17, 2011

untitled

Sampai saat ini saya berharap bahwa di negara Indonesia yg majemuk ini, setiap orang bisa meraih ketenangan nya dalam melakukan apa yang menjadi hak nya yaitu memiliki keyakinan dan melakukan ibadah. Bukan cuma sekedar memegang suatu apa yang diyakini nya saja, tetapi bagaimana kamu, saya, mereka dan kita dapat melakukan peribadatan dengan tenang tanpa harus gusar krn harus diganggu oleh orang lain. Beberapa tahun terakhir, isu ini menjadi sangat penting. Yah, mengingat banyaknya kekerasan antar umat beragama yang berujung pada kematian, dn permusuhan yg semakin kental.

Saat ini, ketika saya menonton atau membaca berita, dlm beberapa kasus, terjadi soal pengeboman rumah ibadat, atau bom bunuh diri ketika suatu kegiatan keagaamaan berlangsung, atau perpecahan antara 2golongan agama karena hal sepele. Dan beberapa temen menanyakan pendapat saya soal ini, menurut mu apa latar belakang terjadi kasus seperti itu:
t: gw cuma bilang hal tersebut dilandasi 2 hal, pertama karena fanatisme mereka terhadap agamanya, sampai org lain di bilang kafir. yang kedua krn memang isu tersbut sengaja di ciptakan untuk membuat kondisi Indonesia jadi tidak stabil krn lemah dlm ketahanan di dalam negeri. Apapun latar belakangnya, jelas agama yang dibawa dalam hal ini.

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas agama islam, disusul dengan agama2 lain; kristen, katolik, hindu, budha, dan kong hu cu. Setelahnya muncul ajaran2 ahmadiyah sampai yang paling ekstrim lia edan :P piss ya tan..
Dengan agama yang beraneka ragam ini, jelaslah pasti timbul letupan2 di dalamnya. Apalagi ketika org satu dengan yg lainnya sudah saling membela agama masing2, dan mengatakan agama saya lah paling bener dan agama kamu salah. Pasti yg ada ujung2nya Konflik lagi.

Dalam tulisan saya kali ini, saya hanya ingin menyampaikan suatu perspektive aja bagaimana saya memandang mengenai perbedaan ini, menjadi saling mengerti dan menghormati agama lain, menjadi mayoritas dan menjadi minoritas dalam satu waktu yg bukan menjadi perkara mudah.

Saya pernah mendengar teman bercerita tentang suatu pengalamannya yang lukisannya kurang lebih begini, sebut saja dia si A. si A ini memeluk agama mayoritas di negara ini, saat itu dia menempuh pendidikan di salah satu universitas negeri di jogjakarta. Si A ini merupakan anggota organisasi berbasis keagamaan. Suatu hari akan di bangun sebuah rumah peribadatan salah satu agama di lingkungan sekitar kampus si A, saat itu si A dan beberapa temannya melakukan diskusi kepada asisten rektor untuk upaya mencegah pembangunan itu terjadi hingga meelakukan demo krn takutnya ada upaya penyusupan nilai-nilai agama lain (re: smcm kristenisasi). Diurungkan lah akhirnya pembangunan itu. Dia menyelesaikan studi sarjananya dan kemudian melanjutkan studi di jepang. Saat di Jepang, dia bertemu dengan teman2 dari Indonesia yang jumlahnya tidak kurang dari 10orang di regional yang sama. Mereka mempunyai agama yg sama. Saat tiba waktu jum'at lah yg paling ribet, mereka harus mencari ruangan kosong untuk dapat ditempati sampai menyewa ruangan yang ukurannya tidak kurang dari 4x3 untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Yah mereka disana menjadi kaum minoritas krn agamanya, mengingat jepang termasuk negara sekuler, jd bsa di bayangkan jumlah pemeluk agama tauhid disana.
Suatu hari, sang profesor menawarkan ruangan kosong di dalam universitas, ruangan itu akhirnya dijadikan tempat peribadatan mereka sehari-hari. Selang berapa lama, ruangan tersebut pun dialih fungsi kan menjadi ruangan untuk kegiatan akademik lain. Sang profesor pun tak mampu berbuat banyak untuk ini. Akhirnya si A dan beberapa temannya harus mencari ruangan kosong bahkan untuk beribadah pun mereka harus sembunyi2.
Akhirnya karena tak tega, sang profesor pun meminjamkan ruangan di rumahnya untuk melaksanakan ibadah. Bulan demi bulan pun berganti, si A dan kawan2 pun mengumpulkan pundi2 uang untuk membangun sebuah sarana ibadah (re: musholla), setelah uang dirasa terkumpul, mereka membangun musholla ini, pemerintah jepang pun tidak melarang pembangunan ini asalkan tetap berpegang pada aturan pembangunan yg ada di Jepang sana.
Setelah A pulang dari jepang, dia pun banyak belajar mengenai pengalamannya ini, bahwa meyakini sesuatu apa yang dia percaya adalah hak setiap orang dan akan menjadi duka ketika orang lain mulai mengusik nya.

Dari dia saya mendapati tambahan pengamalan (tidak langsung) mengenai ini. Memang benar adanya setiap orang berhak memiliki apa yang dia yakini, bahkan seorang atheis pun memiliki keyakinan untuk tidak percaya adanya Tuhan atau hal unseen things lainnya. Tetapi jangan sampai apa yang di yakini, apa yg di percaya menjadi fanatik akan itu.

Ada lagi cerita mengnai hal serupa. Kebetulan teman saya memeluk agama konghucu, dulu jaman soeharto, ruang gerak dia dan keluarga sangat terbatas untuk beribadah, bahkan saat kerusuhan terjadi, dia sangat membenci dirinya , bkn krn dia membenci agamanya, tetapi kenapa dia harus tinggal di tempat dimana org tidak bsa menghargai apa yg dia yakini dan dia percaya. Jadilah dia d kucilkan oleh teman-teman dan tetangga nya, bahkan saat kerusuhan dan pasca nya pun dia tidak keluar dari rumah bersama keluarga dan tetap tinggal di dalam rumah hingga berapa hari lamanya. Ketika itu kami bertemu kembali dalam suatu acara, dia bilang dia sangat bersyukur ketika agama kong hu cu dijadikan agama resmi nasional di Indonesia (era alm. Gusdur), kemudian dia dan keluarga nya pun mentraktir saya makan, dn merayakan dengan suka cita. Mereka bilang bahwa pengakuan itu tidak begitu penting, tp bagi mereka sangat penting untuk dihargai dlm meyakini dan melaksanakan ibadah di suatu lingkungan yang beragamakan mayoritas. Saya jadi terenyuh mendengarnya.

Suatu hari saya pernah membaca kicau dari seorang wartawan mengenai mentri agama yg akan merubuhkan patung budha, sontak lah saya sangat marah krn itu. Bagaimana bisa ya seorang mentri agama bersikap seperti itu. Dia itu kan mentri agama Indonesia bukan mentri agama mayoritas (pikir ku saat itu)..

Dari sekian cerita di atas, pastilah sekarang kita berfikir bagaimana agama itu penting bagi suatu kehidupan, bukan hanya sebagai jalan dalam menuju kebaikan dan dalam mencapai Nya. Tetapi sebagai alat untuk melihat seberapa besar ego kita mampu membuat kita berfikir scr rasional bahwa Bagimu adalah agamamu, bagiku adalah agamaku (qur'an).